Menakar Kontribusi Pendidikan Islam, Akses Pendidikan dan Mutu, Relevansi, serta Daya Saing Pendidikan
Menakar Kontribusi Pendidikan Islam
Eksistensi dan kontribusi pendidikan Islam dalam proses pendidikan dan pembangunan Indonesia sesungguhnya bukanlah hal yang sama sekali baru. Lembaga-lembaga pendidikan Islam, khususnya Pondok Pesantren dan Madrasah, telah berkiprah dalam upaya-upaya pencerdasan masyarakat bahkan jauh sebelum era kemerdekaan.
Namun begitu, dinamika lingkungan yang berlangsung sangat cepat telah memunculkan banyak tantangan baru bagi dunia pendidikan Indonesia. Selain masalah "klasik"seputar kualitas sumber daya manusia (SDM) Indonesia yang terpuruk dalam era globalisasi, maraknya korupsi, memudarnya semangat kebhinekaan, berkembangnya budaya kekerasan, dan degradasi kualitas lingkungan adalah beberapa masalah kontemporer yang menuntut respons dari dunia pendidikan Indonesia, termasuk pendidikan Islam.
Rendahnya kualitas SDM Indonesia di tengah kompetisi global adalah masalah utama yang dihadapi bangsa Indonesia dewasa ini. Laporan United Nations Development Program (UNDP) Tahun 2014 menyebutkan bahwa Indonesia, pada tahun 2013, memperoleh skor 0,684 dalam Indeks Pembangunan Manusia (Human Development Index, HDI). Skor HDI Indonesia lebih tinggi dibandingkan Filipina (0,660), Vietnam (0,638), Laos (0.569), dan Myanmar (0,524), namun lebih rendah dibandingkan Singapura (0,901), Malaysia (0,769), dan Thailand (0,722). Sungguhpun skor HDI menunjukkan peningkatan yang sangat pesat dalam beberapa puluh tahun terakhir, kualitas SDM Indonesia masih tergolong rendah pada tataran global, karena berada pada peringkat ke-108 dari 187 negara di dunia.
Akses Pendidikan
Akar masalah dalam kualitas SDM Indonesia terletak terutama pada ketimpangan akses terhadap pendidikan. Jumlah penduduk yang sangat besar dan terdistribusi secara tidak merata secara geografis mengakibatkan ketidakmerataan akses masyarakat untuk mendapatkan layanan pendidikan yang berkualitas. Tantangan yang dihadapi pendidikan Islam dalam hal ini ialah bagaimana mewujudkan layanan pendidikan yang terjangkau oleh segala lapisan masyarakat di seluruh wilayah Indonesia. Indikator keberhasilan pembangunan pendidikan Islam adalah peningkatan partisipasi pendidikan penduduk usia sekolah pada berbagai jenjang, yang diukur antara lain dalam bentuk Angka Partisipasi Kasar (APK) dan Angka Partisipasi Murni (APM). Sementara APK adalah persentase siswa satuan pendidikan terhadap jumlah penduduk usia sekolah pada suatu tingkatan, APM adalah persentase siswa satuan pendidikan pada usia sekolah tertentu terhadap jumlah penduduk usia sekolah pada suatu tingkatan.
Untuk meningkatkan akses masyarakat terhadap layanan pendidikan, Direktorat Jenderal (Ditjen) Pendidikan Islam, sebagai unit pelaksana pembangunan pendidikan pada Kementerian Agama, secara konsisten meningkatkan kapasitas daya tampung pendidikan Islam di berbagai wilayah, baik melalui pembangunan unit satuan pendidikan baru maupun merehabilitasi bangunan dan prasarana pendidikan yang rusak. Dampak dari implementasi kebijakan ini tampak pada meningkatnya kontribusi APK dan APM satuan pendidikan Islam, sebagaimana dilaporkan dalam publikasi Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Tahun 2012/2013,APK/APM SD,SMP,SM, dan PT (Termasuk Madrasah dan Sederajat) Tahun 2012/2013.
Pada tingkat pendidikan anak usia dini (PAUD), satuan pendidikan Islam Raudhatul Athfal (RA) menyerap peserta didik sebanyak 1.074.131 dari total 18.520.685 anak usia 0-6 tahun di seluruh wilayah Indonesia. Dengan demikian, RA menyumbang APK sebesar 5,79% dari totalAPK PAUD sebesar 63,01% secara nasional.
Pada tingkat Sekolah Dasar (SD) sederajat, satuan pendidikan Madrasah Ibtidaiyah (MI) dan Pondok Pesantren Salafiyah (PPS) Ula berhasil peserta didik sebanyak masing-masing 3.200.459 (MI) dan 69.348 (PPS Ula) dari total 26.040.407 penduduk usia 7-12 tahun. Dengan demikian, MI dan PPS Ula menyumbang APK sebesar 12,29% (MI) dan 0,27% (PPS Ula) dari total APK SD sederajat sebesar 115,88% secara nasional. Dilihat dari kesesuaian usia sekolah peserta didik MI dan PPS Ula pada tingkat SD sederajat, MI dan PPS Ula menyumbang APMsebesar 9,57% (MI) dan 0,11% (PPS Ula) dari total APM SD sederajat sebesar 95,71% secara nasional.
Pada tingkat Sekolah Menengah Pertama (SMP) sederajat, satuan pendidikan Madrasah Tsanawiyah (MTs) dan Pondok Pesantren Salafiyah (PPS) Wustha menyerap peserta didik sebanyak 2.745.022 (MTs) dan 139.631 (PPS Wustha) dari total 12.775.079 penduduk usia 13-15 tahun. Dengan demikian, MTs dan PPS Wustha menyumbang APK sebesar 21,49% (MTs) dan 1,09% (PPS Wustha) terhadap APK SMP sederajat sebesar 100,16% secara nasional. Dilihat dari kesesuaian usia sekolah peserta didik MTs dan PPS Wustha pada tingkat SMP sederajat, MTs dan PPS Wustha menyumbang APM sebesar 12,89% (MTs) dan 0,44% (PPS Wustha) dari totalAPM SMP sederajat sebesar 78,43% secara nasional.
Pada tingkat Sekolah Menengah (SM) sederajat, satuan pendidikan Madrasah Aliyah (MA) menyerap peserta didik sebanyak 1.102.198 dari total 12.569.500 penduduk usia 16-18 tahun. Dengan demikian, MA menyumbang APK sebesar 8,77% dari total APK SM sederajat sebesar 78,19% secara nasional. Dilihat dari kesesuaian usia sekolah peserta didik MA pada tingkat SMAsederajat, MA menyumbang APM sebesar 5,33% dari total APM SM sederajat sebesar 58,25% secara nasional.
Pada tingkat Pendidikan Tinggi (PT), Perguruan Tinggi Keagamaan Islam (PTKI) menyerap peserta didik sebanyak 617.200 mahasiswa dari total 21.185.300 penduduk usia 19-23 tahun. Dengan demikian, PTKI menyumbang APK sebesar 2,91% dari total APK PT sebesar 28,57 % secara nasional.
Tingginya tingkat partisipasi penduduk usia sekolah pada satuan pendidikan Islam erat kaitannya dengan ketersebaran satuan pendidikan Islam yang menjangkau hingga wilayah-wilayah pelosok di seluruh wilayah Indonesia. Pada jenjang pendidikan dasar dan menengah, misalnya, data statistik pendidikan Islam, Kementerian Agama, menunjukkan bahwa lebih dari 50% satuan pendidikan MI, MTs, MA, dan Pondok Pesantren berlokasi di wilayah-wilayah pedesaan. Dengan pola distribusi geografis seperti ini, pendidikan Islam memberikan kontribusi yang sangat bermakna dalam rangka pemerataan dan perluasan akses pendidikan.
Mutu, Relevansi, dan Daya Saing Pendidikan
Rendahnya kualitas SDM Indonesia juga terkait dengan mutu, relevansi, dan daya saing pendidikan yang diselenggarakan, dihadapkan pada berbagai tantangan baru yang muncul seiring perkembangan lingkungan nasional dan global. Selain masalah pengetahuan dan keterampilan, kualitas SDM juga tercermin pada kompetensi personal dan interpersonal SDM.Bahkan, kompetensi personal dan inter-personal yang tercermin pada karakter berbasis nilai-nilai seperti kejujuran, kerja keras, disiplin, dan kerjasama menjadi faktor penentu keunggulan dan daya saing SDM suatu bangsa dalam kompetisi global.
Dengan demikian, tantangan utama dalam peningkatan mutu, relevansi, dan daya saing pendidikan Indonesia lebih dari sekadar meningkatkan pengetahuan dan keterampilan peserta didik yang sesuai dengan tuntutan perkembangan ekonomi dan politik global, tetapi juga mengembangkan sikap dan perilaku positif berbasis nilai-nilai karakter bangsa. Pada titik ini, pendidikan Indonesia menghadapi salah satu isu yang menonjol, yaitu terjadinya krisis karakter yang tampak antara lain pada maraknya kasus korupsi, memudarnya semangat kebhinekaan, konflik antar-kelompok masyarakat, kerusakan lingkungan, dan sebagainya. Atas kondisi krisis ini, pemerintah menjadikan pembangunan karakter sebagai agenda utama kebijakan pembangunan nasional, di mana bidang pendidikan menjadi tulang punggung utamanya.
Pendidikan karakter yang menjadi salah satu isu pokok kebijakan pendidikan nasional bukanlah hal yang sama sekali baru dalam konteks pendidikan Islam. Sebagai model pendidikan berbasis agama, pendidikan Islam sudah sejak dulu berorientasi pada pengembangan manusia seutuhnya (insan kamil) dengan memberi penekanan yang sangat kuat pada pembangunan karakter peserta didik. Kejujuran, kemandirian, kewirausahaan, dan cinta tanah air adalah nilai-nilai karakter yang dikembangkan oleh berbagai satuan pendidikan Islam seperti Madrasah dan Pondok Pesantren sejak era prakemerdekaan.
Kini, di bawah naungan Kementerian Agama, pendidikan Islam melakukan kontekstualisasi nilai-nilai ajaran Islam dengan perkembangan kebutuhan dan tantangan masyarakat Indonesia kontemporer. Sejalan dengan agenda pembangunan nasional, pendidikan Islam di Indonesia dewasa ini mendorong pengarusutamaan pemahaman, penghayatan, dan pengamalan nilai-nilai ajaran Islam seperti antara lain perdamaian, toleransi, kejujuran, patriotisme, dan kemandirian. Nilai-nilai pendidikan Islam tersebut kompatibel dengan berbagai agenda pembangunan nasional seperti pemberantasan korupsi, pembangunan kehidupan berbangsa dan bernegara yang harmonis, dan peningkatan kualitas dan daya saing SDM Indonesia.
Selain melalui peningkatan kualitas kurikulum dan prasarana/sarana pendidikan, kebijakan untuk meningkatkan mutu, relevansi, dan daya saing pendidikan Islam juga diimplementasikan melalui peningkatan kompetensi profesional guru dan dosen pada satuan-satuan pendidikan Islam. Salah satu aspek kompetensi yang mendapat perhatian besar dari Kementerian Agama ialah kompetensi guru dan dosen baik dalam penguasaan materi yang diajarkan maupun sebagai tauladan (role model) dalam proses pembelajaran. Di masa depan, guru dan dosen di lingkungan pendidikan Islam diharapkan memiliki kemampuan dalam mengintegrasikan nilai-nilai karakter yang hendak dikembangkan ke dalam materi-materi berbagai pelajaran yang spesifik. Fokus pada peningkatan kompetensi guru dan dosen ini adalah implementasi dari visi pendidikan Islam yang mengintegrasikan dimensi intelektual dengan dimensi emosional dan moral-spiritual.
Penghargaan Amal Bhakti Bidang Pendidikan Islam
Penghargaan Amal Bhakti Bidang Pendidikan Islam harus dilihat sebagai sebuah upaya strategis Kementerian Agama untuk menggalang kerjasama yang luas dengan berbagai pemangku kepentingan dalam pelaksanaan pembangunan pendidikan Islam. Pemberian penghargaan kepada berbagai unsur pemangku kepentingan yang berdedikasi diharapkan dapat mengembangkan kesalingpemahaman para pemangku kepentingan tentang relevansi kebijakan pendidikan Islam dengan agenda pembangunan nasional.
Sebagai salah satu unsur pemangku kepentingan yang menerima penghargaan, Pemerintah Daerah Provinsi maupun Kabupaten/Kota menempati posisi yang sangat strategis dalam meningkatkan mutu, relevansi, dan daya saing pendidikan Islam. Posisi strategis Pemerintah Daerah erat kaitannya dengan kebijakan desentralisasi pendidikan dan otonomi daerah sejak pemberlakuan Undang Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah junto Undang Undang Nomor 22 tahun 1999. Politik desentralisasi telah menarik batas kewenangan yang tegas antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah. Urusan-urusan yang tidak didesentralisasikan dan menjadi kewenangan pemerintah pusat adalah politik luar negeri, pertahanan, keamanan, yustisi, moneter dan fiskal, dan agama. Di sisi lain, pendidikan menjadi salah satu urusan yang didesentralisasikan kewenangannya kepada Pemerintah Daerah. Dalam kerangka desentralisasi pendidikan, Pemerintah Daerah mengemban tanggung jawab dalam perencanaan, pengelolaan, dan pembiayaan pembangunan pendidikan, termasuk penyediaan gaji pendidik dan pembangunan prasarana dan sarana pendidikan pada tingkat dasar dan menengah.
Secara de jure, satuan-satuan pendidikan Islam seperti Madrasah dan Pondok Pesantren termasuk dalam urusan agama yang kewenangannya tidak didesentralisasikan. Salah satu konsekuensinya ialah bahwa pembiayaan Madrasah dan Pondok Pesantren sepenuhnya masih menjadi tanggung jawab Kementerian Agama. Di sisi lain, secara de facto, Madrasah dan Pondok Pesantren merupakan satuan pendidikan yang, sebagaimana sekolah-sekolah yang bernaung di bawah Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, memiliki kontribusi yang signifikan dalam upaya-upaya pencerdasan masyarakat dan pengembangan SDM pada umumnya. Tak bisa dipungkiri pula keberadaan satuan-satuan pendidikan Islam yang tersebar hingga ke berbagai wilayah pelosok di Tanah Air memberikan sumbangsih yang besar terhadap peningkatan kualitas SDM di berbagai daerah. Tanpa pemahaman yang bijaksana dan political will dari para pemangku kebijakan Pemerintah Daerah, politik desentralisasi pendidikan berpotensi menimbulkan diskriminasi kebijakan pembangunan pendidikan terhadap penyelenggaraan pendidikan Islam yang bernaung di bawah Kementerian Agama.
Dalam konstelasi ini, pemberian Penghargaan Amal Bhakti Bidang Pendidikan Islam dimaksudkan sebagai sebuah pendekatan persuasif untuk membangun kesadaran bersama tentang posisi pendidikan Islam sebagai aset pembangunan nasional. Tuntutan agar pendidikan Islam meningkatkan kontribusi dalam pengembangan SDM di berbagai wilayah hanya dapat dipenuhi jika terbangun kerjasama yang bersifat sinergis antara pemangku kebijakan pada tingkat pusat dan daerah. Sinergi kebijakan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah dapat direalisasikan jika terdapat kesamaan tentang visi pembangunan dan peran pendidikan Islam dalam mendorong kemajuan daerah.
Sesungguhnya, kebijakan desentralisasi pendidikan tidak menutup ruang sama sekali bagi Pemerintah Daerah untuk berkontribusi dalam upaya-upaya memajukan pendidikan Islam. Pemerintah Daerah terbuka untuk mengembangkan inisiatif-inisiatif kebijakan yang mendorong kemajuan pendidikan Islam dengan tetap memperhatikan rambu-rambu kebijakan yang diatur dalam kerangka desentralisasi pendidikan. Inisiatif-inisiatif kebijakan dimaksud mencakup pengarusutamaan suasana kehidupan sosial-keagamaan yang kondusif bagi perkembangan pendidikan Islam melalui regulasi daerah dan penyelenggaraan kegiatan bernuansa keagamaan, menjadikan guru dan tenaga kependidikan pada satuan-satuan pendidikan Islam sebagai kelompok sasaran (target group) dalam program-program peningkatan kapasitas, memberikan bantuan peningkatan kesejahteraan guru dan tenaga kependidikan pada satuan-satuan pendidikan Islam, dan memberikan bantuan dalam rangka penyediaan dan peningkatan kualitas prasarana dan sarana pendidikan Islam seperti unit sekolah, ruang belajar, peralatan penunjang pendidikan seperti buku, alat peraga, komputer, dan sebagainya. Berbagai inisiatif kebijakan Pemerintah Daerah yang mendukung pembangunan pendidikan Islam berdampak secara nyata bukan hanya pada kemajuan pendidikan Islam, tetapi juga kualitas sumber daya manusia di wilayah tersebut.
Kementerian Agama menyadari bahwa harapan masyarakat agar pendidikan Islam meningkatkan kontribusinya dalam pembangunan nasional hanya dapat terwujud melalui kerjasama kolektif dari berbagai pihak. Koordinasi yang kuat antara aparat Kementerian Agama pada tingkat provinsi dan kabupaten/kota menjadi instrumen utama dalam merumuskan titik temu kebijakan antara Kementerian Agama sebagai penanggung jawab penyelenggaraan pendidikan Islam dan Pemerintah Daerah sebagai penanggung jawab pembangunan daerah. Pada titik ini, Penghargaan Amal Bhakti Bidang Pendidikan Islam adalah langkah strategis untuk memperkuat koordinasi dengan jajaran pengambil kebijakan di lingkungan Pemerintah Daerah. Secara sekaligus, penghargaan ini juga merupakan bentuk apresiasi Kementerian Agama kepada berbagai pemangku kepentingan yang telah mengemban tanggung jawab bersama dalam memajukan pendidikan Islam.
No comments